Kamis, 21 Juli 2011

HOT NEWS: Masih ada Rp 80 triliun pajak yang belum diterima negara

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menelusuri jika ada sekitar Rp 80 triliun anggaran pajak 2010 yang belum diterima negara. Koordinator Investigasi dan Advokasi Sekretariat Nasional FITRA, Uchok Sky Khadafi, dengan detail menguraikan letak piutang pajak itu. Uchok memperkirakan ada sekitar Rp 54,008 triliun piutang pajak ada di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) sekitar Rp 16,93 triliun yang belum ditagih. “Piutang migas sebesar Rp 4,27 triliun. Ini belum termasuk temuan BPK atas piutang 35 perusahaan migas sebesar Rp 5,28 triliun. Dan Bendahara Umum Negara (BUN) untuk belanja subsidi dan belanja lain-lain Rp 145 juta. Jadi, kalau mau ditotal seluruhnya, maka piutang pajak kepada negara sekitar Rp 80,4 triliun pada tahun anggaran 2010,” ujar Uchok dalam rilis yang diterima KONTAN. Bukan hanya itu, FITRA juga menilai jika Direktorat Jenderal Pajak tidak tegas terhadap wajib pajak . Lebih lanjut Uchok menyatakan kalau FITRA mendapatkan nilai piutang pajak berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Pemerintah Pusat tahun anggaran 2010. Tidak cukup di situ saja, FITRA juga membeberkan beberapa catatan penting. Di mana berdasarkan jumlah nilai piutang pajak DJP Rp 54,008 triliun itu, ternyata ada sekitar Rp 2,64 triliun yang kedaluwarsa. "Ditemukan piutang yang telah kedaluwarsa penagihannya sebesar Rp 2,64 triliun. Kemudian dari piutang yang kedaluwarsa telah diusulkan penghapusan sebesar Rp 202 miliar dan telah mendapatkan persetujuan dihapuskan dari Menteri Keuangan sebesar Rp 45 miliar," tambahnya. Kemudian, sambungnya, piutang pajak perusahaan migas yang mencapai Rp 5,2 triliun itu terjadi karena ada beberapa masalah. Misalnya, pada tahun 2009 ada 21 perusahaan migas yang tidak membayar sebesar USD 139 juta kepada negara. Di mana kalau dikonversikan ke dalam rupiah akan menjadi Rp 1,2 triliun. Kemudian, pada tahun 2010 ada 13 perusahaan yang kurang bayar pajak sebesar USD 176 juta atau senilai Rp 1,5 triliun. Pada tahun 2010 juga Direktorat Jenderal Anggaran belum menyampaikan kurang bayar PPH Migas pada tiga perusahaan pajak sebesar USD 108,10 juta atau ekuivalen Rp 971 juta kepada DJP. Selain itu, dari tahun 2005 sampai 2009, ada 35 perusahaan migas tidak mau membayar pajak, dan merugikan negara sebesar USD 4,7 juta atau sebesar Rp 42 miliar. Sementara untuk hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap penerapan tarif PPH kepada Perusahaan Migas dalam perhitungan bagi hasil dan kewajiban PPH Migas untuk periode Januari s/d November 2010 menunjukkan ketidakkonsistenan 29 Perusahaan Migas dalam menggunakan tarif PPH tersebut. Perusahaan migas menggunakan tarif tax treaty yang lebih kecil dari tarif PPH yang ditetapkan dalam UU Migas Sehingga Pemerintah memperoleh pendapatan yang lebih rendah. “Dengan ini negara mengalami kerugian sebesar sebesar USD 159,33 juta atau Rp 1,4 triliun bila dikonversikan dengan kurs tengah BI tanggal 31 Desember 2010 Rp 8,991," jelasnya. Alhasil, dari permasalahan itu FITRA meminta kepada DPR agar melakukan amendemen UU Perpajakan kita. Pasalnya, dalam UU Perpajakan BPK tidak boleh ikut campur masalah pajak. Tapi kenyataannya negara malah kehilangan banyak uang. Bagi FITRA kalau DPR tidak melakukan amendemen UU perpajakan, maka yang terjadi adalah UU perpajakan akan digunakan sebagai payung hukum dari para mafia perpajakan untuk merampok penerimaan negara. "Kita juga meminta agar ada evaluasi kepada kinerja Dirjen Pajak, karena Dirjen Pajak ini kelihatan enggak mutu alias tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola penerimaan negara,” tuntut Uchok. Menurutnya, untuk tahun 2010 saja, ada Rp. 54 triliun yang belum bisa ditagih sebagai uang penerimaan negara. “Padahal tugas dan kewenangannya sangat powerful diberikan oleh undang-undang perpajakan kita," tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar